Saturday, November 2, 2013

Saya hanya IBU

"Waaah... ibu benar-benar sabar ya sama anak-anak.. telaten ngajari..."
Setiap kali bertemu orang lain dan mengatakan hal tersebut. Rasa hati saya berdesir. Benarkah saya ibu yang benar-benar sabar? Ibu yang benar-benar telaten mengajari dan mendampingi anak-anak saya. Anak-anak yang dua diantara mereka penyandang autis?

Padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Saya tetap ibu seperti umumnya ibu yang lain. Manusia biasa.
Saat awal-awal diagnosa autis pada Rayhan dulu. Saya sempat memiliki perasaan belum bisa terima bahwa Rayhan autis. Saya sering bertanya pada diri saya sendiri.. Nak kenapa engkau dititipkan padaku? Saya juga pernah menggeretakkan gigi gemas saat berulang-ulang kata atau perintah yang saya ucapkan untuk melatih Rayhan tidak diresponnya, atau direspon tidak semestinya. Atau saat berulang kali rayhan BAB masih di celana tanpa bilang. Maka disaat tertentu keluarlah keluh kesah dari mulut saya.. "Duuuh mas.. berapa kali mama bilang, kalau eek di WC, kalau eek bilang..." Lalu saya memakaikan baju yang tidak dia sukai sebagai hukuman selama 5 menit. Rayhan pun hanya bisa menangis, dan menjawab "di WC.. di WC.. di WC..." seolah minta maaf tentang kesalahannya. Hal yang seharusnya bisa saya tahan, bisa saya redam untuk tidak meledak.
Bahkan... beberapa kali, saya tidak bisa menahan jempol dan telunjuk untuk menyubit. Entah mengapa... dari semua bentuk hukuman, jempol dan telunjuk saya ini paling sulit untuk ditahan. Saya menyadari, apa yang saya lakukan dengan kedua jari saya tersebut (menyubit).. adalah salah. --dulu, saat saya kecil, saya paling sering dicubit sampai gosong-gosong. Lalu baru saat ini saya menyadari, bentuk tidak terima saya waktu itu, bentuk TRAUMA dan kemarahan saya karena cubitan itu, terbawa sampai sekarang. Membentuk bentuk reaksi saya pada hal-hal yang membuat saya marah.--
Saat perasaan hati saya sedang tidak nyaman, saya menahannya. Maka, anak-anak biasanya menjadi korban. Saya cuek dengan mereka, atau saya biarkan mereka bermain sendiri selama sejam dua jam.
Atau bahkan, rengekan mereka saya balas dengan bentakan dan nada tinggi. Meskipun yang saya ucapkan "ASTAGHFIRULLAAAAAH".. tapi bukan sebagai bentuk mohon pengampunan, tapi sebagai bentuk kemarahan. Maka, kadang anak-anak juga melakukan hal yang sama..begitu saya menyebut istighfar, mereka merespon bahwa mereka baru saja melakukan sebuah kesalahan -menurut saya-

Nah kan... ?? Apakah saya masih disebut ibu yang sangat penyabar dan telaten... ??
Berulang kali, puluhan kali.. saya mengucap maaf, memeluk mereka, atau mengucap terimakasih pada mereka dengan senyuman dan tatapan mata kasih.
Pada beberapa kejadian saat saya tidak mampu menahan emosi jiwa, Rayhan dan Rayi yang  mengingatkan saya untuk meminta maaf pada mereka... oohh Nak.. maafkan mama

Saya tidak ingin seperti itu.
Saya sempurna.
Saya terus menerus sabar.
Saya ibu yang tanpa cacat.
Tanpa salah.
Tanpa bentakan.
Tanpa cubitan.
Tanpa amarah.
Selalu tersenyum.
Bisakah seorang ibu, seorang bapak seperti itu?

Saya pun ingin anak-anak selalu sempurna tanpa cela,
Selalu patuh.
Tidak nakal sekalipun.
Selalu manis tanpa tangis.
Selalu ramah tanpa amarah.
Tanpa jeritan.
Bisakah seorang anak seperti itu?

Saya hanya ibu, yang berusaha menjadi sempurna tanpa cela. Saya tidak akan pernah berhenti berusaha.
Saya akan terus mendampingi kalian dalam sehat dan sakit.
Saya ibu yang tidak bisa menjamin akan terus tersenyum padamu, tapi saya menjamin bahwa saya akan TERUS MELAKUKAN HAL-HAL KECINTAAN dan KASIH SAYANG pada kalian.
Bukan karena kewajiban ibu pada anaknya, tapi karena CINTA yang Allah rahmatkan insyaAllah tidak akan pernah habis.

1 comment: