Saturday, June 28, 2014

TOILET TRAINING

Saya ternyata harus membahas tentang toilet training secara khusus, karena beberapa orangtua yang saya temui, baik yang memiliki Anak Kebutuhan Khusus (ABK) ataupun tidak, lebih memilih zona aman yang tidak repot tentang toilet training, yaitu DIAPERS alias POPOK sekali pakai.

Sebegitu pentingnya kah? IYA
Apakah lebih penting daripada belajar membaca menulis dan berhitung? IYA
Apakah lebih penting daripada komunikasi verbal? IYA (bagi anak yang memerlukan perhatian dalam hal komunikasi)
Hhhhmmmm...
Toilet training, sangat berkaitan dengan kegiatan yang bersifat sangat pribadi, sangat personal. Siapa yang berhak dan berkewajiban dalam hal ini ? Orangtuanya. Hanya orangtuanya, bukan pengasuhnya, atau saudaranya, atau pamannya, apalagi gurunya. Kenapa begitu? Karena resikonya akan sangat besar saat urusan pribadi ini dipercayakan dan ditangani atau dibantu oleh orang lain. Anda pasti tahu, bahwa kasus kekerasan seksual pada anak, sebagian besar dilakukan oleh orang dekat atau orang yang dikenalnya. Jadi, dengan alasan itu, maka toilet training sangat penting disiapkan sedini mungkin.

Kapan dimulainya? Sedini mungkin. Bahkan sejak bayi. Benarkah? Bagaimana caranya?
1. Lepaskan DIAPERS. Jauhkan pemakaian diapers.
Saat bayi, anak akan menangis saat mengompol atau buang air besar. Itulah toilet training paling awal, yaitu anak merasa tidak nyaman dengan aktifitas ini. Tapi... bila bayi dipakaikan diapers, apa yang terjadi? Bayi akan merasa nyaman meskipun mengompol atau buang air besar. Ah... aku bisa kapanpun, dimanapun... tanpa risih, tanpa merasa tak nyaman, tanpa harus dibangunkan untuk langsung diiganti. Jadi, minimalkan memakai diapers. Pakaikan diapers hanya saat bepergian saja. Memang lebih repot, tapi kita bisa menyiasatinya dengan memakaikan kain tambahan sebagai pelapis di dalam popok/celana, supaya anak tetap merasa risih saat mengompol. Kalau rasa nyaman pakai diapers ini berlangsung sampai usia diatas setahun.. dua tahun.. akan semakin sulit melatihnya kelak.

2. Kalau sudah risih... apa yang dilakukan berikutnya?
Biasakan mengajaknya pipis saat SEBELUM dan SESUDAH. Sebelum bepergian dan sesudah bepergian, sebelum tidur dan sesudah tidur. Masih bayipun bisa kok. Ajak ke kamar mandi dengan dibopong, dan katakan "pipis". Tunggu beberapa menit jika tidak langsung pipis. Kalaupun anak belum ingin pipis. tetap lakukan hal yang sama, nanti dia akan faham apa maksud ibunya mengajak pipis ke kamar mandi. Begitupun untuk latihan BAB. Awali dengan mengajaknya ke kamar mandi dengan dibopong saat terlihat anak akan BAB. Kalau anak belum nyaman, bisa menggunakan kloset tiruan dalam bentuk plastik.

3. Lakukan jadwal pipis ke kamar mandi, dan ingat siklus BABnya
Buat jadwal pipis ke kamar mandi. Awali dengan jadwal tiap SETENGAH JAM ajak pipis ke kamar mandi. Ingin pipis ataupun tidak, tetap ajak ke kamar mandi untuk pipis. Jangan dipaksa untuk bisa pipis, tapi ajak saja dan posisikan anak untuk melakukan buang air kecil. Setelah setengah jam mulai berhasil, tambah jedanya menjadi tiap SATU JAM. Lakukan kegiatan dengan jadwal yang sama. Lalu setiap DUA JAM.. atau orangtua bisa mengatur sendiri jedanya secara bertahap.
Bagaimana dengan BABnya? Di awal latihan, catat kapan saja anak BAB, jam berapa saja dalam sehari. Biasanya, siklus BAB ini akan rutin sama hampir setiap harinya. Kalaupun ada perbedaan waktu tidak akan banyak. Dengan mengenali waktu BAB, maka orangtua bisa menyiapkan diri di sekitar jadwal anak BAB. Misalnya, tidak mengajaknya keluar rumah saat sekitar jadwal tersebut. Menanyakan pada anak bila ada tanda-tanda anak ingin BAB, misalnya buang angin, merasa gelisah dengan wajah yang agak tegang. Atau untuk anak yang belum komunikasi verbal, ajak dia untuk BAB di kamar mandi.

4. Konsisten.
Orangtua harus konsisten dengan latihan ke anak. Kalau tidak, akan menyebabkan anak kesulitan segera bisa mandiri melakukan aktifitas toilet. Konsisten dengan cara latihan sejak masuk kamar mandi, membersihkan diri, menyiram, dan mencuci tangan.

Bagaimana dengan ABK?
Sama saja. Persis.
Anak autis ada yang bisa komunikasi verbal, dan ada yang tidak verbal. Keduanya sama. Justru lebih mudah melakukan latihan toilet pada anak autis dibandingkan anak non autis. Apa kuncinya? POLA dan KONSISTEN (selain tiga poin di atas). Itu saja. Anak autis perlu dipolakan untuk BAK dan BAB di kamar mandi. Polakan latihan dengan urutan dan cara yang sama, dengan kata-kata yang sama, setiap waktu BAK dan BAB. Jadwal juga dipolakan dengan sama. Sebelum dan sesudah tidur, sebelum dan sesudah bepergian, setiap satu atau dua jam sekali, atau pola jadwal yang orangtua tentukan. Untuk memudahkan, bisa menggunakan cerita bergambar sebagai urutan BAK dan BAB. Kesulitan menggambar? Pakai model kakak/adik/anak tsb lalu foto dan cetak. Kalau perlu tempel gambar urutan BAK dan BAB di depan pintu kamar mandi.
KONSISTEN dengan pola yang diterapkan, baik urutan, cara, ucapan, jadwal, ataupun apa konsekuensi jika anak mengompol. Orangtua bisa memberi konsekuensi jika nak tidak BAK atau BAB di kamar mandi, misalnya mengurangi jam main, mengingatkan dimana tempat BAK dan BAB, atau menunjukkan gambar anak mengompol yang disilang.

Bagaimana dulu saya melatih Rayhan, Raka dan Rayi. Sama persis, hanya saja saya belum menyadari bahwa apa yang saya lakukan menggunakan prinsip pola dan konsisten. Bahkan, saya melatih Rayhan untuk menyiram lantai/kloset dengan hitungan jumlah berapa gayung yang harus disiramkan supaya bersih. Memang masih terus perlu dibenahi, mengingat usia anak-anak saya yang belum sampai tujuh tahun. Tapi saya bertekad, bahwa saat anak saya masuk sekolah, mereka sudah tidak mengompol atau pakai diapers lagi. Mereka sudah bisa BAK dan BAB di kamar mandi, meskipun memang harus didampingi orang dewasa yang dipercaya.
Kalau tidak segera... kapan lagi? Masih ingin melihat anak kita usia sampai tujuh atau delapan tahun pakai diapers?

No comments:

Post a Comment